Simpul Maya di Dua Benua
Bab 1: Jeda Senja di Seoul
Layar ponsel itu memancarkan cahaya lembut, menerangi wajah lelah Aruna. Di balik deretan gedung tinggi Seoul yang mulai menyalakan lampu, pukul tujuh malam adalah waktu yang tepat untuknya. Tapi bagi Elang, yang kini berada di balik hiruk-pikuk Jakarta, itu adalah jam lima sore. Selisih dua jam. Dua jam yang terasa seperti jurang, melebar setiap kali Aruna merindukan sentuhan Elang yang menenangkan.
"Kamu sudah makan?" suara Elang terdengar renyah, meski sedikit terdistorsi oleh sambungan video.
Aruna tersenyum, senyum yang berusaha menutupi gurat lelah di matanya. "Sudah, tadi sama Min-ji. Kamu?"
"Barusan banget. Tadi kejebak macet gila," Elang tertawa, memperlihatkan lesung pipi yang selalu membuat Aruna meleleh. "Kayak biasanya, Jakarta."
Mereka berdua terkekeh. Obrolan klise yang selalu ada, bagian dari ritual LDR mereka yang sudah berjalan dua tahun. Dua tahun sejak Aruna mendapatkan beasiswa seni rupa di Seoul, impian yang berarti harus mengorbankan kedekatan fisik dengan Elang, kekasihnya sejak SMA.
Dulu, mereka tak terpisahkan. Aruna yang impulsif dan Elang yang tenang, adalah perpaduan sempurna. Mereka menjelajahi setiap sudut Jakarta, menikmati kopi di kedai-kedai kecil, atau sekadar berboncengan motor tanpa tujuan pasti, menikmati angin yang membelai rambut. Kini, angin itu hanya bisa dirasakan Aruna sendirian, di jalanan Seoul yang asing.
Terkadang, Aruna merasa berat. Melihat teman-temannya di Korea yang bisa berkencan, berpegangan tangan di Namsan Tower, atau sekadar makan malam bersama. Sementara ia? Hanya bisa menatap layar, mencoba merasakan kehadiran Elang melalui piksel-piksel cahaya.
"Kamu kangen nggak?" Aruna tiba-tiba bertanya, suaranya sedikit parau.
Elang diam sejenak. Di layar, Aruna melihat matanya yang biasanya penuh tawa, kini dipenuhi kerinduan yang sama dalamnya dengan yang ia rasakan. "Kangen banget, Run. Setiap hari."
Jawaban itu, meski sederhana, bagai tetesan embun di padang gersang hati Aruna.
Bab 2: Janji di Balik Lautan
Elang tahu Aruna sedang berjuang. Ia bisa melihatnya dari sorot mata Aruna yang seringkali terlihat sendu, atau senyum yang tak sampai ke mata. Mereka adalah jiwa yang terbiasa bersisian, bukan terpisah oleh lautan dan zona waktu.
Suatu malam, setelah video call mereka berakhir, Elang terdiam. Ia membuka kalender di laptopnya. Masih ada tiga bulan lagi sampai libur musim dingin Aruna. Tiga bulan yang terasa seperti selamanya.
Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang bisa memberi Aruna kekuatan, selain sekadar kata-kata manis di ponsel. Elang membuka tab baru, mencari tiket pesawat. Jakarta ke Seoul. Ia tahu ini akan menguras tabungannya, tapi senyum Aruna jauh lebih berharga.
Minggu-minggu berikutnya, Elang menyibukkan diri. Ia bekerja ekstra, mengambil proyek-proyek lepas di luar jam kerjanya sebagai desainer grafis. Setiap rupiah yang ia sisihkan adalah langkah mendekat menuju Aruna. Ia merahasiakan rencana ini, ingin menjadikannya kejutan.
"Aku pengen tahu deh, besok kamu libur ngapain?" tanya Aruna suatu pagi, suaranya ceria. Aruna sedang berada di museum seni, ia sering berbagi kegiatannya melalui video call agar Elang bisa "ikut" melihat-lihat.
"Hmm, besok aku ada janji sama temen. Penting," jawab Elang, menahan senyum. Jantungnya berdebar kencang. Hari-H semakin dekat.
Aruna mengernyitkan dahi, "Penting banget ya sampai nggak bisa ngobrol sama aku?" ada nada cemburu yang lucu di suaranya.
"Penting banget, Run. Ini tentang masa depan kita," Elang berujar serius, berharap Aruna tidak mencurigai apa-apa.
Aruna tertawa renyah, "Ih, gombal!"
Elang ikut tertawa, namun dalam hati ia berdoa. Semoga kejutan ini berhasil.
Bab 3: Pertemuan di Gerbang Musim Dingin
Musim dingin telah tiba di Seoul. Salju pertama turun tipis, melapisi atap-atap hanok dan jalanan kota dengan warna putih bersih. Aruna duduk di dekat jendela kamarnya, menyeruput teh hangat, dan menatap butiran salju yang turun perlahan. Libur musim dingin telah tiba, tapi entah mengapa hatinya terasa kosong.
Ia merindukan Elang. Sangat merindukannya. Mereka sudah tidak video call selama dua hari terakhir karena Elang beralasan sangat sibuk. Aruna mencoba memahami, tapi rasa kesal dan rindu bercampur aduk.
Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia ragu-ragu mengangkatnya.
"Halo?"
"Aruna..." Suara itu. Suara yang Aruna kenal betul, tapi mengapa nada bicaranya sedikit berbeda?
"Elang? Kamu pakai nomor siapa?" Aruna mengerutkan kening.
"Aku..." Ada keheningan sejenak. "Aku ada di bandara."
Jantung Aruna serasa berhenti berdetak. "Bandara mana?" tanyanya bodoh, padahal ia sudah bisa menebak.
"Incheon."
Aruna menjatuhkan tehnya. Gelas itu pecah, tapi ia tak peduli. Air mata tiba-tiba membanjiri pipinya. Ia bangkit, meraih jaket tebalnya, dan berlari keluar.
Perjalanan ke bandara terasa begitu panjang. Setiap detik adalah siksaan, bercampur harapan dan rasa tak percaya. Saat ia tiba di area kedatangan, pandangannya menyapu kerumunan orang. Dan di sana, di antara banyak wajah asing, ia melihatnya.
Elang. Berdiri dengan jaket tebalnya, syal melilit lehernya, dan sebuah senyum yang terukir di bibirnya. Senyum yang Aruna rindukan. Elang melambaikan tangan, matanya berkaca-kaca.
Aruna berlari, menerjang kerumunan, melewati orang-orang yang menatapnya heran. Ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanyalah Elang.
Saat ia tiba di depan Elang, ia tak sanggup berkata-kata. Hanya memeluknya erat, mencium aroma tubuhnya yang khas, merasakan detak jantungnya yang seirama dengan detak jantungnya sendiri.
"Kamu gila," bisik Aruna di bahu Elang, di antara isakannya.
Elang memeluknya lebih erat. "Gila karena kangen kamu."
Salju masih turun tipis di luar. Dinginnya udara Seoul tak mampu menandingi hangatnya pelukan mereka. Jarak, waktu, benua yang memisahkan, seolah lenyap dalam satu dekapan itu. Simpul maya di dua benua, akhirnya menemukan bentuk nyatanya. Untuk sementara waktu, mereka kembali utuh.